Saling Memahami Dasar Toleransi
Malam cerah bertabur bintang. Di bawah temaram cahaya
purnama yang hampir sempurna, beberapa mahasiswa dengan membawa poster
dan beberapa perlengkapan lainnya, berjalan menuju gedung Humanity and
Social Sciences. Ya. Malam ini University of Reading kedatangan dosen
muda dari University of Chicago yang akan memberikan public lecture.
Temanya cukup provocative, “Muhammad: Oppressor or Liberator of
Women?”. Ruang kuliah sudah penuh saat saya datang. Bukan hanya oleh
mahasiswa muslim di University of Reading tapi juga oleh mahasiswa &
mahasiswa non muslim. Bahkan ada diantara mereka yang membawa Bible
sebagai tanda kesiapan untuk berdebat.
Menurut teman-teman, di University ini diskusi sudah demikian
membudaya, termasuk mendiskusikan agama di ruang public sudah menjadi
hal biasa. Dengan semangat menjelaskan dan bukan memaksa, setiap sebulan
sekali Muslim Society di universitas ini mengadakan exhibition di
lapangan untuk mengenalkan Islam atau menjelaskan Islam pada civitas
akademika. Dengan membuka dialog seperti ini, mispersepsi terhadap islam
bisa dijelaskan, dan hubungan antara Islam dan non islam menjadi sangat
cair.
Terkadang, kita dengan alasan “khawatir tersinggung” merasa enggan
untuk menyampaikan Islam kepada teman-teman kita. Toleransi berarti
“diam” dalam masalah agama, tidak perlu ada yang dibicarakan karena
agama dianggap “sensitif”. Padahal justru sebaliknya, toleransi harus
dibangun atas dasar saling faham, karena itulah menjelaskan tentang
Islam menjadi suatu keharusan untuk meminimalisir kesalahfahaman.
Mungkin kita pernah mengalami saat bertamu ke rumah teman yang bukan
muslim, teman kita menyediakan makanan yang kita yakin tidak halal. Lalu
kita tidak memakannya, apa yang terjadi?. Bisa jadi teman kita menjadi
kikuk, dan mungkin juga tersinggung, karena kita dianggap tidak
menghormati teman kita.
Kalau sejak awal kita sudah menjelaskan tentang makanan halal dimana
berdasarkan agama yang kita anut kita wajib memakan makanan yang halal,
maka insyaAllah orangpun akan faham dan akan menghormati kita. Sama
seperti kita menghormati teman india kita yang vegetarian atau teman
kita yang alergi makanan tertentu, tentu kita tidak akan memberikan
mereka makanan yang tidak bisa mereka makan. Sikap saling menghormati
justru lahir karena adanya saling faham dan saling faham terbentuk
dengan adanya dialog.
Banyak hal tentang islam ini yang masih menimbulkan kesalahfahaman
bagi sebagain orang karena kurangnya penjelasan yang benar dan memadai.
Tentang konsep jihad yang disamakan dengan anarkisme dan terorisme,
tentang jilbab yang dianggap symbol perbudakan, tentang sholat lima
waktu yang dianggap menyebabkan waktu kerja terganggu, tentang makanan
halal yang dianggap sebagai bentuk ekslusifisme, dan lain sebagainya.
Mispersepsi tentang konsep-konsep Islam boleh jadi terjadi karena ada
fihak tertentu yang sengaja mebentuknya, tapi boleh jadi juga karena
potret sebagian realitas yang bisa dinilai demikian. Untuk itulah dialog
dan penjelasan meski dilakukan. Tidak usah malu untuk menjelaskan
Islam, tidak usah takut orang lain akan tersinggung, karena justru kita
ingin membangun toleransi yang benar. Toleransi yang didasarkan atas
kesalingfahaman, bukan toleransi “diem-dieman”. Wallahu`alam.
Mukhamad Najib, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Tokyo
Posting Komentar