[WPC-8] Jejak Minimalis Tsunami di Museum Tsunami Aceh
Bencana tsunami 26 Desember 2004 menyisakan trauma yang sulit untuk
dilupakan bagi rakyat Aceh. Bagaimana tidak, ratusan ribu jiwa melayang
dalam sekejap disapu ombak pantai yang menggulung. Tsunami di pantai
barat Aceh meluluh-lantakkan hampir seluruh kota Banda Aceh dan
Meulaboh.
Tujuh tahun sudah setelah bencana berlalu, ketika saya berkesempatan
berkunjung ke tanah rencong ini, tepatnya akhir November tahun lalu.
Meski sudah kembali pulih, tapi sisa-sisa tsunami masih terasa.
Mendengar cerita orang-orang yang menjadi saksi hidup tsunami membuat
kita tidak sanggup berkata apa-apa. Jejak-jejak tsunami dapat kita lihat
saat melewati beberapa tempat yang menjadi saksi bisu seperti kuburan
massal korban tsunami Aceh, taman tsunami, mesjid-mesjid yang selamat
dari bencana tsunami dan museum Tsunami.
Museum Tsunami sengaja dibangun oleh pemerintah untuk mengenang
terjadinya bencana tsunami yang melanda wilayah Aceh dan Samudera Hindia
tahun 2004. Museum yang dirancang oleh arsitek Indonesia ini
bangunannya megah dan kokoh. Tempat ini sekaligus dijadikan pembelajaran
dan evakuasi saat terjadi bencana. Di museum ini memang disajikan rekam
jejak tsunami dalam berbagai media seperti audiovisual, photo slide,
foto-foto dan alat peraga tsunami.
Di luar museum, dapat kita temukan salah satu saksi bisu tsunami yaitu helikopter milik Polda yang tidak sempat terbang karena keburu disambar air laut. Akibatnya helikopter sempat terendam air dan sebagian menjadi hancur.
Di luar museum, dapat kita temukan salah satu saksi bisu tsunami yaitu helikopter milik Polda yang tidak sempat terbang karena keburu disambar air laut. Akibatnya helikopter sempat terendam air dan sebagian menjadi hancur.
Memasuki museum akan membawa kita menyaksikan jejak-jejak minimalis
terjadinya bencana tsunami 7 tahun-an silam. Sesaat setelah melewati
pintu masuk, kita akan melewati lorong dengan air mengalir di
dinding-dindingnya yang memerciki setiap yang lewat di lorong itu.
Suasana agak mencekam karena jalannya dibuat agak menanjak dan redup.
Karena baru pertama kali ke sana, waktu itu saya agak cemas dan malah
berpikir apa nanti bakal dikejutkan dengan simulasi tsunami di lorong
ini. Untunglah tidak hehe.
Lebih ke dalam lagi, kita akan memasuki ruangan kosong melingkar dimana
di dindingnya terdapat nama-nama korban tsunami yang berhasil
diidentifikasi. Nama-nama ditulis di seluruh dindingnya. Bagian tengah
meninggi ke atas membentuk cerobong yang bertuliskan nama Allah dalam
tulisan arab, sayapun harus mendongak untuk bisa memotretnya. Di ruangan
itu terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang mengingatkan kita akan
kebesaran Sang Pencipta.
Setelah itu kita kembali melewati lorong yang menanjak tetapi lebih
terang dan tidak ada air yang memercik di dinding-dindingnya. Desain
museum ini memang unik dan sarat akan arti serta makna kejadian
tertentu. Banyak lorong-lorong tangganya yang dibuat unik. Untuk naik ke
lantai selanjutnya akan melewati jembatan menanjak yang disebut
jembatan perdamaian. Di bawahnya terdapat air dan membentuk seperti
kolam, sedangkan bagian atasnya banyak terdapat bendera-bendera dari
berbagai negara yang telah memberikan sumbangan saat terjadi bencana. Di
situ tertulis kata ‘damai’ dalam berbagai bahasa.
Sayapun tidak melewatkan kesempatan untuk menonton VCD bencana tsunami
di ruang audiovisual. Waktu itu ada juga orang asing yang menonton
berbarengan dengan saya dan teman-teman. Salah satu isi video
menampilkan rekaman dari kamera amatir saat kejadian tsunami. Meskipun
saya tidak mengalami kejadiannya secara langsung, film yang diputar
membuat suasana hati menjadi terhanyut. Apalagi mengingat cerita-cerita
para korban selamat dimana mereka banyak yang kehilangan sanak
keluarganya. Sedih sekali mendengarnya, pokoknya speachless deh.
Tiba-tiba ingatanpun melayang pada kisah Nabi Nuh yang pernah saya
dengar.
Di ruangan lain, kita bisa melihat poster-poster tentang Aceh dan
bencana tsunami yang dipajang dalam stand poster. Semua bisa
menggambarkan Aceh sebelum maupun sesudah terjadinya tsunami. Beberapa
poster ada yang saya potret secara close-up. Di situ ada foto jam milik
Mesjid Baiturrahman dengan latar belakang bangunan yang porak-poranda.
Jam ini berhenti di angka 8 lewat 17 menit, dimana menunjukkan waktu
terjadinya tsunami. Di poster yang lain juga terdapat informasi wilayah
yang menjadi pusat gempa di Aceh dan kawasan Samudera Hindia. Saat
bencana terjadi, memang korban baik harta maupun jiwa terbanyak terdapat
di Aceh.
Di ruangan lain terdapat miniatur bangunan yang selamat dari bencana
tsunami seperti Mesjid Lampisang di Lampuuk serta kapal pembangkit
listrik yang terdampar di Punge karena terbawa ombak laut sejauh 6-7 km.
Tempat-tempat tersebut yang asli saat ini masih dapat dijumpai dan
dijadikan sebagai situs tsunami.
Miniatur PLTD Apung di Punge |
Pengunjung di museum tsunami ini juga bisa mencoba simulasi terjadinya
guncangan gempa bumi, tetapi sayangnya saya tidak bisa mencobanya karena
pada saat berkunjung ke sana tempat itu sedang direnovasi.
Ruang simulasi goncangan gempa |
Museum tsunami memang menarik dan sarat akan pembelajaran. Tempat ini
bisa menjadi salah satu tujuan wisata jika berkunjung ke Aceh, berwisata
sekaligus belajar. Jejak-jejak minimalis tsunami di museum ini menjadi
pengingat bahwa pernah terjadi musibah besar yang menimpa
saudara-saudara kita di Aceh. Dan betapa kecil dan lemahnya kita di
hadapan Sang Pencipta. Semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya.
Posting Komentar