Ibu, Pulanglah...
Ditulis oleh Budi Ashari
"Saya hanya IRT alias ibu rumah tangga,"
jawab seorang ibu dalam keadaan kurang begitu nyaman dengan jawabannya
saat ditanya aktifitas keseharian. Jawaban itu seringkali kita dengar.
Dari ibu-ibu dalam percakapan keseharian. Pada forum
pertemuan-pertemuan. Rasa kurang nyaman dalam menjawab dan kurang bangga
tentang dirinya, akan menjadi lebih parah saat pertanyaan itu hadir di
forum bergengsi. Seorang wanita akan sangat bangga ketika bisa
menyebutkan daftar aktifitas seabreg dengan jadwal padat dan penat. Akan
lebih membanggakan ketika dalam pertemuan seperti itu, beberapa kali
ada seseorang yang membisikinya mengingatkan akan sesuatu. Tugas seorang
asisten pribadi. Menandakan bahwa, ia wanita yang sangat bermanfaat
bagi orang banyak. Para wanita berbangga ketika menjawab bahwa dirinya
mempunyai aktifitas sangat sibuk. "Iya nih, kalau gak saya sempatkan waktu, susah saya ketemu anak-anak."
Kembali dengan sangat bangga itu disampaikan di depan banyak
orang.Kebanggaan itu sebenarnya harus dibayar mahal. Bayarannya bisa
merugikan sisa umur yang ada. Anak-anak yang sering susah bertemu ibunya
sendiri sering protes. Banyak di antara mereka yang berharap kelak
tidak mau menjalani profesi ibunya atau terlibat aktifitas seperti
ibunya. Karena tidak mau terulang kejadian yang menimpa mereka, akan
menimpa anak-anak mereka. Tentu ini keputusan yang sangat dangkal.
Tetapi tidak bisa disalahkan, karena mereka masih anak-anak. Dan itulah
kepahitan yang dirasakan di tengah tebar senyum bangga sang ibu di
hadapan komunitasnya.
Ada yang benar-benar protes dengan kata-kata. Ada yang protes dengan
secarik kertas yang diletakkan di meja tugas ibunya. Ada protes yang
digoreskan di diary yang lebih setia mendampinginya di banding
ibu yang telah melahirkannya. Tetapi ada yang tidak cakap cara-cara itu
semua. Sehingga protes mereka ditumpahkan dengan perilaku. Tindakannya
mulai susah dikontrol. Tidak bisa diatur. Tidak bisa dinasehati. Sering
pergi tanpa peduli dan tanpa komunikasi. Keluyuran seperti ibunya! Ini
yang harus dibayar mahal di balik jawaban malu sebagian ibu ketika hanya
tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga.
Ini tidak berarti memusuhi aktifitas baik wanita. Bahkan seharusnya
kaum bapak mulai menyadari ada wilayah kerja kaum hawa yang tidak boleh
dimasukinya. Tetapi di sini, kita sedang ingin menyoroti hasil generasi
yang semakin hari semakin menurun. Dimana salah satu faktor vital dalam
rumah tangga adalah ibu.
Mungkin para ibu tidak sadar saat mengeluarkan kata
(hanya) saat menjawab tentang aktifitas IRT. Tetapi kata hanya ini,
dibangun di atas banyak filosofi dan keyakinan dalam hidup. Sehingga
kata hanya adalah sebuah simpul yang bisa diurai menjadi sebuah
perjalanan hidup. Ketika ini menyangkut tentang keyakinan dan folosofi
hidup, di sinilah beratnya kalau keyakinan itu salah.
Anak-anak yang terlahir dari sebuah rumah tangga, akan menerima kata
hanya dari ibunya. Sebuah kata yang menyiratkan sebuah aktifitas
asal-asalan, setengah hati dan tidak maksimal sama sekali. Dan hasilnya,
tentu hanya uring-uringan di rumah. Ketidaknyamanan
terciptakan sedemikian rupa. Dan kalau sudah begitu, siapa yang mau
tinggal di rumah dengan seperti itu keadaannya.
Sebaliknya, hampir jarang kalau dibilang belum pernah kita dengar jawaban seorang ibu, "Alhamdulillah saya seorang IRT!!"
Pasti sangat berbeda dengan jawaban pertama. Jawaban kedua ini
menggambarkan sebuah syukur. Ada bangga di baliknya. Ada ketulusan mahal
yang terpancar.
Kebanggaan yang tidak basa-basi itu mustahil keluar tanpa pemahaman
yang baik tentang pentingnya peran ibu di dalam rumah. Dan betapa jasa
besar seorang ibu untuk melahirkan generasi peradaban agung dunia, tidak
ada yang sanggup menyainginya. Tidak ayah. Tidak sekolah. Tidak
universitas. Tidak negara. Karena pondasi-pondasi itu terbangun di
rumah.
Sang ibu adalah madrasah untuk itu. Jika pondasi keimanan, pondasi
keyakinan, pondasi logika dan semua pondasi lainnya kokoh, maka terserah
mau dibangun setinggi apapun anak itu, akan bisa dilakukan. Namun, jika
rapuh, seorang anak hanya ibarat gubug reot yang mudah ambruk ditiup
angin sepoi sekalipun.
Kebanggaan terlahir dari rasa menikmati terhadap tugas. Dan akan
sulit bisa maksimal pada sebuah aktifitas bila tidak dinikmati. Kalau
seorang ibu dengan bangga menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga, ini
artinya ia menikmati kebersamaannya dengan anak-anak di rumah untuk
memoles mereka.
Menikmati membuat ibu tidak mudah lelah. Ibu mempunyai tenaga lebih
untuk semua anak-anaknya. Dan memang diperlukan tenaga ekstra, energi
ekstra untuk menghasilkan generasi yang sholeh dan hebat. Di sinilah
kuncinya. Jika sang ibu terlihat sangat frustrasi mendengar tangis
anaknya, melihat rumah yang berantakan, keaktifan yang menimbulkan
kebisingan, maka sang ibu akan memilih untuk memantau anak-anaknya lewat
telpon ke pembantu.
Sang ibu akan memilih pulang ke rumah saat anak-anak sudah tertidur
lelap karena kelelahan belajar sambil bermain. Ibu pulang dan semua
sudah rapi. Tetapi ibu tidak sadar bahwa hati anak-anaknya berantakan.
Seharusnya umat ini tidak terjebak pada perangkap yang telah mengikat
kaki para wanita di negara maju. Amerika, Eropa, Jepang adalah contoh
negara-negara yang para wanitanya mulai menjerit karena kelelahan di
luar rumah. Mereka mulai merasakan nikmatnya duduk di rumah bersama
keluarga. Tetapi itu tidak sanggup mereka lakukan. Karena jebakan
kemajuan dan tuntuntan kesamaan tanpa batas itu.
Sementara negara ini, mulai berjalan menuju jebakan itu. Jika tidak
hati-hati, hasilnya akan sama. Dan saat negara-negara maju itu kelak
mulai membenahi sistim kehidupan dengan mengembalikan para wanita ke
rumah, mungkin saat itu wanita negeri ini sedang menjerit-jerit karena
ingin kembali ke rumah. Selalu tertinggal. Maka, sudah saatnya sebagai
muslim yakin bahwa tidak ada aturan terhebat tentang keluarga melebihi
aturan Islam. Jika dikembalikan kepada Islam, maka akan terlahir keluar sakinah mawaddah dan rahmah.
Akan melahirkan generasi yang menghadirkan cahaya bagi bumi ini yang
telah membantu mengangkat dunia barat dari lumpur ketertinggalan. Inilah
perintah Ilahi tentang tempat wanita,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
"Dan menetaplah (kalian para wanita) di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (Qs. al-Ahzab: 33)
Allah memberitahukan tempat utama wanita adalah rumah. Jangan
dimaknai bahwa Islam mengekang wanita. Karena langsung, pada kata
setelahnya Allah mengisyaratkan bolehnya keluar rumah. Tetapi harus
dengan memperhatikan penampilan yang tidak jahiliyah. Prof. DR. Adnan
Baharits, salah seorang pakar pendidikan Islam di Universitas Ummul Quro
Mekah membahas khusus tentang bagaimana para wanita berkiprah di luar
rumah sesuai dengan syariat dalam buku beliau: Dhawabith Tasygil an-Nisa’
(243 halaman). Wanita tetap diberi keleluasaan beraktifitas bahkan di
luar rumah. Tetapi bukan dengan sudut pandang kesamaan gender hari ini.
Jadi, para ibu...
udah saatnya pulang….
Generasi hebat pemimpin bumi sedang menanti...
Posting Komentar