Republik Galau
Entah mengapa kita sering mendengar kata galau akhir2 ini,
mungkin dlm benak saya ini adalah tren atau mungkin virus dekonstruksi
karakter khususnya bagi para pemuda masa kini, beberapa untaian kalimat
yg selalu bernada keluh kesah,gelisah, bingung, bimbang dan khawatir
menjadi sebuah sikap mental dari sebagian generasi anak bangsa.
Bukan lantas saya menjustifikasi bahwa galau adalah perbuatan yang
buruk apalagi menjurus maksiat namun lebih cenderung kepada filosofi
kata “GALAU” itu sendiri yang sekarang mengalami penyempitan persepsi
dan latar belakang yang tidak jelas, meminjam istilah manajemen,
kebanyakan mereka yang mengalami galau adalah yang tak memeiliki visi,
berfikir sempit dan merasa putus asa dalam melakukan setiap langkah
usaha. Sudah saatnya belajar kepada sejarah yang juga tak pernah lepas
dan selalu dimulai dari kegalauanI.
Telah terhampar bukti kegalauan mampu menembus batas realitas dan
asumsi akal manusia yang terbatas. Generasi miskin imajinasi yang selalu
menggantungkan diri dalam ketidak pastian adalah ciri khas generasi
galau saat ini, mereka yang selalu meminum air menggunakan jari, atau
garpu atau bahkan dengan sumpit padahal disitu ada sedotan.
Inilah yang membuat terkadang perasaan jiwa menjadi campur aduk atau
berkelindan dalam kerumitan tanpa menemukan solusi yang dicari.
Harap-harap cemas seakan menjadi jargon utama bagi para pemuja
kegalauan.
Entah mengapa kegalauan itu juga selalu menghinggapi para pemimpin
bangsa ini, cobalah lihat perilaku mereka yang tak pernah berhenti
mencari sensasi atau sekedar untuk menunjukkan eksistensi dan sebagian
politisi yang lain berubah bak selebriti yang sering nongol di tivi.
Sebagian lain berharap mendapatkan posisi strategis dan kenaikan
pangkat atau saling sikut dan telikung-menelikung untuk menunjukkan
kekuatan kelompoknya, Meminjam istilah seorang kawan, “begitu banyak
orang berebut mencari perahu namun ternyata laut masih jauh”.
Sudah seharusnya para aktivis dakwah kampus menyadari dan memiliki sense of galau ketika
melihat konspirasi besar antara pejabat dan pengkhianat, penguasa
dengan pengusaha, wakil rakyat dengan kaum pemodal, seakan tak ada
bedanya antara penegak hukum dengan pelanggar hukum.
Kegalauan yang sudah semestinya bersemayam dalam nurani para aktivis
yang menamakan dirinya “oposisi kebatilan” adalah saat memandang adanya
adu domba antara aparat dengan rakyat yang dilakukan oleh oknum pejabat
untuk meraup keuntungan atau mengamankan singgasana kekuasaan, saat
pimpinan tak berarti pemimpin dan saat persamaan hukum dan keadilan
telah diperjual belikan dan adanya pertunjukan paradoks antara kasus
maling sandal dengan mega skandal, dan yang seharusnya tak ada
perlakuan berbeda di mata hukum antara presiden dengan pesinden, antara
gubernur dengan tukang bubur atau penjual bajigur dan antara mentri
dengan mantri. Permainan segelintir kaum elit yang mencederai atau
merampas hak-hak wong alit.
Sudah saatnya kaum muda mulai menemukan momentum yang tepat untuk
dijadikan sebagai peristiwa bersejarah dan merupakan bagian dari
akumulasi kegalauan yang melanda.
Seperti halnya kegalauan hasan al-banna melihat kondisi bangsa mesir
saat itu berada dibawah bayang-bayang imperialisme inggris, kerusakan
moral, budaya korup serta hilangnya nilai-nilai islam dalam sendi-sendi
kehidupan. Kemudian beliau mengumpulkan beberapa teman yang merasakan
hal serupa yang pada akhirnya memunculkan gerakan IKHWANUL MUSLIMIN
sebagai bentuk atau wujud dari puncak kegalauan yang ada pada zamannya.
Begitu juga dengan para pemuda yg galau ketika hari-hari menjelang
kemerdekaan melakukan usaha-usaha dalam rangka mengisi kekosongan
kekuasaan pada masa itu lalu dengan lantang merebut momentum kemerdekaan
pada tanggal 17 agustus 1945 serta mendaulat soekarno-hatta menjadi
proklamator sekaligus pemimpin pertama republik ini.
Entah berapa banyak kegalauan dari sepenggal kisah masa lalu menjdi
contoh bahwa kegalauan melahirkan sebuah momentum dan celah sejarah yang
mampu dikenal dan dikenang sepanjang usia peradaban. Itulah kegalauan
sosial yang terus berkembang dalam jiwa, bergejolak dalam hati dan
berdiskusi dalam fikiran hingga mampu berinteraksi dalam lingkungan.
Kegalauan yang berujung pada logika penguat langkah sekaligus
referensi kerja bagi setiap keputusan yang akan di ambil, ketika tidak
hanya ego sesaat saja yang melandasi tapi juga kegalauan yang berkecamuk
mampu mentasbihkan sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh orang lain
terlebih menjadi inspirasi yang terus mengalir tiada henti.
Mencoba untuk belajar dari para penemu atau ilmuwan masa lalu yang
diawali dari rasa galau sebelum pada akhirnya mereka dapat menciptakan
pesawat terbang, radio, telefon, TV, mobil dan banyak hal baru yang
mengisi kehidupan ini.
Semoga kita tidak terjebak pada kegalauan individu atau nafsi-nafsi,
tapi lebih kepada kegalauan sosial yang menstimulus GERAKAN ini untuk
bisa bertahan dalam arus yang tak menentu. Walau terkadang mimpi kita
menembus ekspektasi dan nalar akal tak mampu menjawab sebuah tragedi
maka saat itu pula kita percaya bahwa DIA punya rencana yang terbaik
untuk jalan ini, karena problema adalah adanya perbedaan antara das
sollen (seharusnya) dengan das sein (kenyataan) terhadap aspek2 struktur
sosial,saat idealita tak seperti realita disinilah kegalauan mulai
melanda.
Yakinlah bahwa setiap kegalauan pasti akan ada jalan keluarnya
seperti halnya ruang gelap yang tak ada lampu, toh masih ada senter atau
lampu tempel jika tak ada maka ambillah lilin, jika itu semua tidak ada
maka yakinlah bahwa segerombolan kunang-kunang akan datang menghampiri
kita.
SELAMAT BERGALAU.... !
AULYO PUTRO S.
Ketua MPD KAMMI Malang
Posting Komentar