Snippet

Bung Hatta Sumber Inspirasi Sosok Anti Korupsi


Perjalanan almarhum Mohammad Hatta memperlihatkan sosok yang menghayati “kerisihan” pada godaan uang dan kekuasaan, bahkan sampai tingkat yang sedikit “keterlaluan” untuk ukuran masa kini di negeri kita. Pria yang dilahirkan di Batuhampar, 12 Agustus 1902 ini, sejak muda memegang prinsip kejujuran. Maka tak heran jika ia selalu dipercaya menjadi oleh teman-temannya. Jabatan bendahara Jong Sumatran Bond (JSB) cabang kota Padang pernah ia pegang ketika belajar di MULO (Meer Uitgebreid Lagere School) atau SMP berbahasa Belanda. Jabatan yang mengandalkan kejujuran dan ketelitian itu, ia teruskan ketika ia harus hijrah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di Prins Hendrik School (Sekolah Menengah Dagang).

Minatnya pada bidang ekonomi, dan juga koperasi, terus terlihat melalui berbagai karangan dan buku. Karenanya, pada tanggal 17 Juli 1953 dalam Kongres Koperasi Indonesia dirinya diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Perhatiannya pada unsur keadilan dalam ekonomi, selain dalam fokusnya pada koperasi, juga terasa dalam kehidupan sehari-hari – dan ciri inilah yang secara konsisten diperlihatkan, hal yang langka di antara para tokoh Indonesia terutama setelah jaman semakin ‘maju.’

Banyak Universitas memberikan gelar Honoris Causa padanya. Selama ia menjabat wakil Presiden (1950-1956) dirinya tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di pelbagai lembaga pendidikan tinggi. Pada 1 Desember 1956, Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pertama. Sejak itulah, praktis ia menjadi warga negara biasa. Beberapa tawaran perusahaan Belanda untuk menjadikan dirinya komisaris ia tolak. Alasannya, sangat sederhana. Seperti alasan orang Jawa,. ewuh pakewuh. “Apa kata rakyat nanti…” Hatta tidak mau mengambil tawaran itu karena “malu” dinilai hanya mencari pangkat dan jabatan saja. Ia juga tidak mau dinilai rakyat sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri dengan tidak mau memperhatikan perkembangan negeri ini. Sikap jujur dan sederhana ia tunjukkan dengan menolak kenaikan uang pensiun yang tidak lagi mampu membiayai keluarganya (dengan istri dan tiga orang anaknya). Bahkan ia juga menolak diberi rumah tambahan yang lebih besar karena takut tak mampu membiayai ongkos perawatan rumah tersebut. Bahkan, World Bank ketika itu pernah menawarkan kedudukan pada Hatta, namun ia tolak. Penolakan itu juga sempat mengecewakan anak-anaknya. Halida, anak bungsunya, mengatakan bahwa ia ingin kuliah ke luar negeri. Namun, keinginan itu tertunda lantaran penolakan Hatta atas posisi yang ditawarkan World Bank.

Pada tahun 1965 Hatta “dipaksa” melihat kesedihan yang mendalam dengan jatuhnya ribuan korban pada peristiwa 30 September. Ketika itu, Hatta berharap ada pengadilan yang digelar untuk Soekarno supaya jangan ada tuduhan-tuduhan terhadapnya tanpa tanggung jawab. Pengadilan ini, menurut Hatta, kelak menjadi pelajaran berharga bagi penguasa selanjutnya di Indonesia. Di sini tampak sikap tokoh Indonesia yang juga langka dalam hal niat membatasi korupsi kekuasaan, sikap yang tampaknya tidak “menurun” pada para penguasa negeri ini, mengingat resistensi yang tinggi terhadap gagasan dan upaya membawa petinggi ke pengadilan.

Berbagai buku dan sumber lain tentang Bung Hatta menunjukkan harapannya yang besar di awal masa pemerintahan Soeharto. Namun juga tampak kekhawatirannya pada perkembangan peran militer dengan jargon dwifungsinya. Hatta juga menekankan perlunya sikap dan cara pihak sipil berpolitik dengan lebih bertanggung jawab.

Kekecewaan pada pemerintahaan Soeharto semakin membesar, tatkala ia menyaksikan peristiwa Malari (Peristiwa Limabelas Januari 1974) dan penyelesaiannya yang menandakan menguatnya pemerintahan yang otoriter. Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) Orde Baru dinilai Hatta tidak memajukan dan meningkatkan kemampuan rakyat.. Namun meski berbeda pendapat dari para penasehat ekonomi utama pemerintahan Soeharto seperti Wijojo, Hatta tetap memberi masukan pada para pembuat keputusan, antara lain dalam bentuk surat antara lain pada Gubernur Bank Indonesia, Radius Prawiro, Emil Salim sebagai Deputi Ketua Bapenas, Frans Seda yang menjabat Menteri Keuangan, Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang dijabat Hamengku Buwono IX. Salah satu pesannya adalah keprihatinannya pada arah kebijakan ekonomi yang ditempuh, yang tidak memperhatikan nasib rakyat.

Pada tahun 1970 Hatta diangkat sebagai Penasehat Presiden Soeharto dan Penasehat Komisi IV, yang diketuai oleh Wiloto. Pengangkatan ini dimaksudkan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Kasus yang mendapatkan saran Hatta antara lain adalah yang menyangkut Pertamina – yang isinya masih belum diketahui secara publik. Rupanya dari bahan-bahan yang ada Hatta telah menangkap gelagat bahwa korupsi sudah menjadi budaya. Seingat Halida, ayahnya tak pernah menerima “tamu khusus”, setiap tamu yang akan datang ke rumahnya selalu ditanya maksud dan tujuannya terlebih dahulu. Hatta lebih sering menerima tamunya di kantor, karena itu “filter” seperti inilah yang membedakan ayahnya dengan banyak pejabat di Indonesia

Emil Salim pernah mengatakan, saat ini tipe kepemimpinan Bung Hatta sangat dibutuhkan. Karena hanya dirinya yang memiliki ciri kepemimpinan berupa penyerahan diri secara total, jujur dan bersih, berkomitmen penuh pada perbaikan nasib dan tingkat hidup rakyat kecil, menegakkan dan menjalankan secara konsekuen nilai-nilai demokrasi kerakyatan, serta mengutamakan rasio ketimbang emosi dan karena itu gandrung pada usaha pendidikan rakyat ketimbang agitasi membangkitkan emosi rakyat .

Kecemasan Bung Hatta pada gelagat korupsi ternyata menjadi kecemasan generasi-generasi berikutnya; korupsi menjadi sumber penyakit bangsa ini, sampai kita mendapat predikat salah satu bangsa terkorup di dunia. Sosok Bung Hatta layak menjadi inspirasi kita, agar kita tidak putus harapan akan adanya pejabat yang dapat konsisten menjalankan sumpah jabatannya serta mandat yang dipercayakan rakyat padanya.