Orang Tua Menjerit
Ibu-ibu menjerit dan sedih. Ini berlangsung setiap tahun ajaran baru. Setiap tahun semakin tidak mudah memasukkan anak-anaknya ke sekolah. Setiap tahun sekolah juga semakin mahal. Inilah keadaan yang dihadapi ibu-ibu yang ingin menyekolahkan anak-anaknya. Betapa sulit dan mahalnya biaya sekolah sekarang. Apalagi mendapatkan sekolah berkualitas.
Murid-murid menjadi objek sekolah. Orang tua terbebani biaya sekolah. Biaya sekolah setiap tahun terus naik. Seperti kebutuhan pokok. Setiap hari naik. Tanpa dapat dimengerti oleh ibu-ibu. Sekalipun pemerintah sudah mengucurkan dana setiap ke sekolah, kenyataannya tidak mempunyai efek apapun. Sekolah tetap melakukan pungutan.
Kesulitan siswa dan orang tua bermula dari sebagian sekolah publik yang berkualitas berubah menjadi sekolah rintisan bertarap internasional (RSBI). Dengan "kedok" RSBI itu, selain melakukan tes masuk lebih awal, pada Maret-Mei, sekolah RSBI itu bebas melakukan pungutan di Jakarta, rata-rata menurut informasi dari kalangan siswa dan orang tua murid, rata-rata RSBI memungut Rp 15 juta. Sementara itu, tingkat SMP yang menggunakan standar RSBI pungutan berkisar antara Rp 5 juta sampai Rp 6 juta.
Di daerah tidak jauh berbeda. Di SMA negeri daerah Cikarang, Bekasi, besarnya pungutan uang pangkal Rp 3,8 juta dan biaya lain-lain Rp 2,1 juta atau totalnya menjadi Rp 5,9 juta rupiah. Belum lagi uang sekolah besarnya bervariasi. Di Jakarta paling kecil SMA Rp 500.000 tiap bulannya. Bisa lebih. Ini tergantung sekolah masing-masing. Belum lagi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan sekolah semuanya uang. Pungutan-pungutan lainnya bisa saja melalui apa yang disebut "Komite Sekolah", yang menentukan. Seakan-akan itu sudah menjadi kesepakatan antara wali murid.
Di sebuah sekolah di Jakarta Selatan, yang menggunakan bilingual belum RSBI mematok Rp 6 juta dicicil selama setahun. Sedangkan SMP yang sudah RSBI lebih mahal lagi. Sementara itu, sekolah-sekolah yang sudah RSBI memberikan kuota hanya 20 persen bagi anak-anak miskin. Jangan berharap anak-anak orang miskin bisa sekolah dengan kondisi seperti itu.
Masih ditambah bagaimana sekolah yang menggunakan standar RSBI itu hanya menerima murid yang rata-rata nilai ujiannya diatas 9. Jadi sangat sedikit yang dapat diterima di sekolah yang menggunakan "kedok" RSBI.
RSBI hanyalah satu sarana untuk menjadi sekolah itu mahal, dan menjadi ajang pemerasan terhadap wali murid. Karena orang tua membutuhkan sekolah, mereka hanya menyerah dan memenuhi tuntutan sekolah dengan membayar mahal.
Sebenarnya sekolah-sekolah yang sudah "berkedok" RSBI itu mutu pendidikannya tidak terlalu baik. Indikatornya tidak semuanya lulusan sekolah yang sudah menggunakan RSBI itu dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi negeri.
Sebuah sekolah SMA terkemuka yang sudah menggunakan standar RSBI hanya dapat mengatakan "maaf", ketika orang tua murid mengklain anaknya tidak dapat diterima di SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sangat ironi.
Sekolah yang menggunakan standar RSBI itu hanya menjadi mitos, yang tidak ada nilai lebihnya apa-apa. Kecuali hanya untuk menaikkan uang pangkal sekolah yang jumlahnya jutaan, dan membebani orang tua murid.
Sekolah-sekolah yang menggunakan standar RSBI hanya menciptakan kelas sosial baru, yang sangat diskriminatif. Di mana hanya anak-anak yang berduwit yang dapat menikmati pendidikan. Sementara itu, anak-anak yang miskin tidak dapat mendapatkan pendidikan yang layak.
Artinnya pendidikan di Indonesia hanyalah dinikmati kaum kaya, dan bukan kaum miskin. Anak-anak miskin nasibnya akan terus berada di bawah. Tidak mungkin akan mendapatkan martabat yang layak melalui pendidikan yang ada. Karena mereka sudah ditutup peluangnya untuk mendapatkan pendidikan, karena hanya faktor tidak memiliki uang.
Memang sekarang yang menjadi "tuhan" orang Indonesia adalah uang. Uang menjadi sangat segalanya. Termasuk guru-guru juga menjadikan uang sebagai "tuhan". Ibu-ibu yang miskin hanya bisa menjerit. Akibat anak-anaknya tersisih, ketika akan masuk sekolah, hanya karena tidak mampu membayar. Wallahu'alam.
Posting Komentar