Snippet

Betulkah Snouck Hugronje Menjiplak Dalam Mencetuskan Teori Gujarat?

Teori Gujarat adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje (1857-1936) yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.

Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.

Namun betul memang, Teori gujarat yang katanya dicetuskan oleh Hugronje -yang juga mengaku-aku masuk Islam, bukanlah murni temuannya. Hugronje hanya mengambil pendapat DR. Jan Pijnappel (1822-1901) seorang sejarawan Leiden yang menyatakan hal tersebut terlebih dahulu.

Jan Pijnappel sendiri adalah seorang orientalis Leiden yang concern pada manuskrip melayu. Diantaranya ia pernah menulis ulang Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan untuk Pelajar Melayu. Dia juga mengedit naskah Maleisch-hollandsch woordenboek atau Kamus Belanda-Melayu yang kemudian diterbitkan pada tahun 1875. Sarjana Belanda ini juga menulis kajian tentang Pantun Melayu yang diterbitkan tahun 1883 dengan judul Over de Maleische Pantoens.Selain menerbitkan karya sendiri, Pijnappel juga menerbitkan karya penelitian tentang Kalimantan yang ditulis oleh Carl A.L.M. Schwaner, yang pernah ditunjuk Kerajaan Leiden mejadi Anggota Dewan Sains di Hindia-Belanda

Orientalis yang wafat tahun 1901 itu menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara lewat pedagang dari Gujarat. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik.. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.

Namun sekalipun selangkah lebih maju dari ketidakjujuran Hugronje, yang meminorkan peran Arab atas masuknya Islam ke Nusantara, teori Pijnappel ini pun juga sarat kritik.

Salah satu sanggahan yang mengkritik Teori Gujarat ini salah satunya datang dari Buya Hamka. Ulama Kharismatik ini malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata Buya Hamka, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan Buya Hamka, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.

Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan Buya Hamka adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilainilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.

Sedangkan, Sayyed Naquib Al Attas dalam bukunya “Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu” menyatakan bahwa sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.

Akhirnya dari berbagai data-data itu, sumber sejarah banyak menginformasikan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi, bukan abad 13 seperti kata Pijnappel. Untuk menunjang hal itu ada beberapa fakta diantaranya berita dari Cina Zaman Dinasti Tang yang menerangkan bahwa pada tahun 674 M, orang-orang Arab telah menetap di Kanton.

Wilem Pieter Groeneveldt, yang pernah menulis "Notes on the Malay Archipelagi and Malacca Compiled from Chinese Sources ", atau "Nusantara dalam Catatan Tionghoa" (terbit 1876) berpendapat bahwa pada waktu yang sama kelompok orang Arab yang beragama Islam mendirikan perkampungan di pantai barat Sumatera. Perkampungan tersebut namanya Barus/Fansur. Pada waktu Sriwijaya mengembangkan kekuasaan sekitar abad ke- 7 dan 8, para pedagang Muslim telah ada yang singgah di kerajaan itu sehingga diduga beberapa orang di Sumatera telah memasuki Islam.

Sayangnya sekalipun mengandung banyak kelemahan, Teori Gujarat ini pun masih langgeng diajarkan di sekolah-sekolah kita, termasuk oleh mereka guru-guru muslim. Meski hal ini bukan berarti bahwa penyebaran Islam oleh Pedagang Gujarat adalah tindakan salah, karena bagi seorang muslim sudah menjadi kewajiban merekalah untuk berdakwah, entah darimana ia berasal. Namun yang keliru disini adalah ketika Teori Gujarat dijadikan patokan untuk menjelaskan masuknya Islam pertama kali ke Nusantara.

Maka itu Muhammad Quthb pernah menulis sebuah buku berjudul, “Kaifa Naktubu Attarikhal Islami” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, “Mengapa Kita Perlu Menulis Ulang Sejarah. Disitu Muhammad Quthb menyimpulkan mengapa umat Islam perlu menulis ulang sejarah Islam yang berbeda dari tulisan para orientalis selama ini. Ya meskipun corak tulisan para orientali dan murid-muridnya sekaan-akan ilmiah, sistematis, bab per bab, dilengkapi daftar pustaka dan rujukan yang banyak, “Akan tetapi kejelekannya dai segi metodologi, adalah sebagian karya tersebut jauh dari tanggung jawab Ilmiah, diwarnai motivasu untuk mewujudka tujuan-tujuan tetentu, yang terembunyi di dalam dada, orang-orang yang tidak menginginkan agama Islam berkembang dengan baik.” Terang adik kandung Asy Syahid Sayyid Quthb tersebut. Allahua’lam. (Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi)