Inilah Negara dengan Penduduk Paling Percaya Diri di Dunia
ORANG
Jerman dikenal sebagai manusia yang berkepribadian kuat. Atau dengan
deskripsi lain: kaku, penuh percaya diri, dan cuek-nya minta ampun.
Artinya, mereka tak perlu pengakuan diri dari orang luar terhadap jati
dirinya. Rasa percaya diri seperti itu tertanam sejak kanak-kanak.
Amerika Serikat boleh maju, tapi di mata orang Jerman tingkah orang
Amerika tak selalu harus ditiru. Begitu juga dengan orang-orang Paris
yang modis, trendi dengan segala gebyarnya. Tapi di mata rata-rata orang
Jerman, Paris yang Kota Mode itu tak ada yang menarik. "Masuklah ke
Paris, Anda akan seperti masuk hutan, lalu lintas tidak ada aturannya,"
kata mereka.
Jerman dikenal sebagai negara yang warganya kelas wahid dalam berdisiplin lalu lintas di Eropa. Dan karena penuh percaya diri itu, urusan gengsi-gengsian atau yang menonjolkan kekayaan tidak mencuat. Salon khusus pria di sana pun tak ada, kecuali salon potong rambut. Majalah khusus untuk pria pun tak ada. Salon-salon kebanyakan dipenuhi nenek-nenek, yang ingin tampil lebih cantik atau ingin menunda penuaan. Sementara itu, para daranya cenderung berpakaian slengekan (memakai baju motif kotak-kotak dengan kombinasi celana agak kedodoran).
Pria-pria yang suka berkunjung ke salon itu justru yang dituding sebagai banci, yang ingin mempercantik penampilan agar tampak seksi dan menggiurkan. Mereka memermak mulai dari payudara, memperkecil betis, menghilangkan bulu-bulu kaki, dan merawat wajah serta tubuh.
Dengar pernyataan Gaby, 25 tahun, tentang cowok idamannya. "Yang penting dia mandi, tidak bau. Itu sudah cukup. Kalau boy friend saya sudah berani masuk salon laki-laki, cukup sampai di sini saja hubungan kami," katanya. Bagi dia, laki-laki harus menunjukkan kejantanannya tanpa harus ber-make up. "Tapi itu pendapat pribadi, lho," katanya lagi.
Ternyata pendapat Gaby itu juga didukung Yurike Denbach. Ia membenarkan, laki-laki Jerman tak mau mengikuti tren masuk salon. "Bagi kami, perempuan itu memang harus cantik, dan laki- laki harus gagah dengan apa adanya," ujar Denbach dengan santai.
Seorang pria Jerman, Hans Jeub, memperkuat gambaran tentang kaumnya. "Perempuan itu harus cantik, dan laki-laki itu harus kaya. That's all," kata Hans Jeub kepada M. Aji Surya, yang membantu Gatra dari Bonn, Jerman.
Tapi di tengah kepercayaan diri yang kuat tersebut, tak terbantahkan bahwa warga Jerman tengah dilanda kekurangsregan pada warna kulit mereka. Baik pria maupun wanita menyukai warna kulit mereka agak kecokelatan. Buntutnya, bermunculanlah salon khusus -yang diserbu wanita dan pria- untuk mencokelatkan kulit yang disebut dengan branungmittle. Sedikit hitam tampaknya lebih macho dan seksi ketimbang putih mulus.
Yang hampir sama dengan Jerman adalah Mesir. Di negeri ini para prianya penuh percaya diri. Masuk ke salon -kecuali salon gunting rambut- bagi pria sana tidak umum, kendati salon di sana perbandingannya, 9 salon pria : 1 salon wanita. Yang dilakukan di salon itu, selain menggunting rambut, jenggot, kumis, dan memotong kuku, juga membersihkan muka (dimasker).
Di Salon Gino di bilangan Dokky, Mesir, misalnya, yang meminta dimasker hanya 10%. Bahkan, untuk operasi plastik, angkanya cuma 2%. "Itu pun karena pria tersebut cacat tubuh. Misalnya, hidung cacat karena tabrakan, atau kuping terjepit sesuatu," kata Kamal Muhammad Ahmad, pemilik dan pengelola Gino, kepada A. Murtafie Haris dari Gatra. Di Salon Aly Khottob di bilangan Abbas Aqqod, yang rata-rata dimasuki 30 pelanggan sehari, juga sekitar 10% yang meminta dimasker.
Peminat terbanyak masuk salon adalah untuk menggunting rambut. Maklum, rambut orang Mesir keriting lebat, yang kalau dipanjangkan tidak bagus. Dulu, saat Presiden Gamal Abdul Naser berkuasa, jumlah salon pria dan wanita seimbang. Kini, dengan makin banyaknya wanita berjilbab, kehadiran salon wanita menjadi berkurang.
Banyaknya salon pria itu tak menyiratkan bahwa pria Mesir adalah pesolek. Tren mode Eropa yang melanda Mesir tak sedahsyat pengaruhnya di kalangan remaja pria Maroko, Aljazair, Lebanon, dan Tunisia, yang doyan memakai gelang, kalung, dan anting-anting. Ini tampak pada para pemain bola negara-negara itu yang banyak memakai perhiasan. Mereka juga suka memanjangkan rambut.
Kebiasaan ini berbeda dengan kebiasaan pemuda Mesir. Jika ada remaja Mesir memanjangkan rambut, misalnya, itu dianggap kurang sopan. Bahkan, remaja di pedesaan yang memakai celana pendek pun dianggap aib. Satu hal lagi, di daerah pedesaan, kalau ada seorang laki-laki yang kewanita-wanitaan alias kemayu, orang itu dihajar ramai-ramai agar timbul kejantanannya.
Di sisi lain, banyak juga pria Mesir yang berkepala botak. Tapi iklan untuk menumbuhkan rambut -seperti banyak bermunculan di Indonesia- tak ada di sana. Itu semua menandakan rasa percaya diri mereka yang berlebihan.
Jerman dikenal sebagai negara yang warganya kelas wahid dalam berdisiplin lalu lintas di Eropa. Dan karena penuh percaya diri itu, urusan gengsi-gengsian atau yang menonjolkan kekayaan tidak mencuat. Salon khusus pria di sana pun tak ada, kecuali salon potong rambut. Majalah khusus untuk pria pun tak ada. Salon-salon kebanyakan dipenuhi nenek-nenek, yang ingin tampil lebih cantik atau ingin menunda penuaan. Sementara itu, para daranya cenderung berpakaian slengekan (memakai baju motif kotak-kotak dengan kombinasi celana agak kedodoran).
Pria-pria yang suka berkunjung ke salon itu justru yang dituding sebagai banci, yang ingin mempercantik penampilan agar tampak seksi dan menggiurkan. Mereka memermak mulai dari payudara, memperkecil betis, menghilangkan bulu-bulu kaki, dan merawat wajah serta tubuh.
Dengar pernyataan Gaby, 25 tahun, tentang cowok idamannya. "Yang penting dia mandi, tidak bau. Itu sudah cukup. Kalau boy friend saya sudah berani masuk salon laki-laki, cukup sampai di sini saja hubungan kami," katanya. Bagi dia, laki-laki harus menunjukkan kejantanannya tanpa harus ber-make up. "Tapi itu pendapat pribadi, lho," katanya lagi.
Ternyata pendapat Gaby itu juga didukung Yurike Denbach. Ia membenarkan, laki-laki Jerman tak mau mengikuti tren masuk salon. "Bagi kami, perempuan itu memang harus cantik, dan laki- laki harus gagah dengan apa adanya," ujar Denbach dengan santai.
Seorang pria Jerman, Hans Jeub, memperkuat gambaran tentang kaumnya. "Perempuan itu harus cantik, dan laki-laki itu harus kaya. That's all," kata Hans Jeub kepada M. Aji Surya, yang membantu Gatra dari Bonn, Jerman.
Tapi di tengah kepercayaan diri yang kuat tersebut, tak terbantahkan bahwa warga Jerman tengah dilanda kekurangsregan pada warna kulit mereka. Baik pria maupun wanita menyukai warna kulit mereka agak kecokelatan. Buntutnya, bermunculanlah salon khusus -yang diserbu wanita dan pria- untuk mencokelatkan kulit yang disebut dengan branungmittle. Sedikit hitam tampaknya lebih macho dan seksi ketimbang putih mulus.
Yang hampir sama dengan Jerman adalah Mesir. Di negeri ini para prianya penuh percaya diri. Masuk ke salon -kecuali salon gunting rambut- bagi pria sana tidak umum, kendati salon di sana perbandingannya, 9 salon pria : 1 salon wanita. Yang dilakukan di salon itu, selain menggunting rambut, jenggot, kumis, dan memotong kuku, juga membersihkan muka (dimasker).
Di Salon Gino di bilangan Dokky, Mesir, misalnya, yang meminta dimasker hanya 10%. Bahkan, untuk operasi plastik, angkanya cuma 2%. "Itu pun karena pria tersebut cacat tubuh. Misalnya, hidung cacat karena tabrakan, atau kuping terjepit sesuatu," kata Kamal Muhammad Ahmad, pemilik dan pengelola Gino, kepada A. Murtafie Haris dari Gatra. Di Salon Aly Khottob di bilangan Abbas Aqqod, yang rata-rata dimasuki 30 pelanggan sehari, juga sekitar 10% yang meminta dimasker.
Peminat terbanyak masuk salon adalah untuk menggunting rambut. Maklum, rambut orang Mesir keriting lebat, yang kalau dipanjangkan tidak bagus. Dulu, saat Presiden Gamal Abdul Naser berkuasa, jumlah salon pria dan wanita seimbang. Kini, dengan makin banyaknya wanita berjilbab, kehadiran salon wanita menjadi berkurang.
Banyaknya salon pria itu tak menyiratkan bahwa pria Mesir adalah pesolek. Tren mode Eropa yang melanda Mesir tak sedahsyat pengaruhnya di kalangan remaja pria Maroko, Aljazair, Lebanon, dan Tunisia, yang doyan memakai gelang, kalung, dan anting-anting. Ini tampak pada para pemain bola negara-negara itu yang banyak memakai perhiasan. Mereka juga suka memanjangkan rambut.
Kebiasaan ini berbeda dengan kebiasaan pemuda Mesir. Jika ada remaja Mesir memanjangkan rambut, misalnya, itu dianggap kurang sopan. Bahkan, remaja di pedesaan yang memakai celana pendek pun dianggap aib. Satu hal lagi, di daerah pedesaan, kalau ada seorang laki-laki yang kewanita-wanitaan alias kemayu, orang itu dihajar ramai-ramai agar timbul kejantanannya.
Di sisi lain, banyak juga pria Mesir yang berkepala botak. Tapi iklan untuk menumbuhkan rambut -seperti banyak bermunculan di Indonesia- tak ada di sana. Itu semua menandakan rasa percaya diri mereka yang berlebihan.
Posting Komentar