Begitu Mulianya Hati Ibuku
Dears, sebelum melanjutkan, kisah dibawah ini adalah sebuah kisah fiksi yang tertuang didalam imajinasi, tidak ada kejadian fakta didalamnya. Hanya terinspirasi dari kisah Ibu dan Bunda yang di ikutkan dalam festival blog : Minum Teh Bersama Ibu dari guskar dot com
Dirumah nenek (begitulah anakku biasa memanggil Ibu), aku lihat Ibu tengah ngobrol dengan adik perempuanku satu-satunya yang sudah kian beranjak dewasa. Dari mimik mulut mereka, aku tau pasti mereka sedang membicarakan Ayah yang memang jarang pulang akhir-akhir ini. Menurut pengakuannya sih kerja, ya maklumlah Ayahku adalah seorang pengusaha Pub dan Resto yang cukup sangat sibuk.
Dan Resto Ayah kebanyakan ada di luar kota. Jadi dalam sebulan, paling banter Ayah pulang hanya tiga sampai empat kali saja. Itupun hanya setengah hari bisa duduk nyantai di rumah bersama kami sedangkan malamnya Ayah harus pergi lagi ngurusin Pub dan Karaoke.
Ayah selalu menenteng tas laptopnya setiap kali pulang dan turun dari Aerio-nya. Masih mengenakan kemeja lengan panjang dipadu dengan celana kain warna hitam dan sepatu coklat yang mengkilat. Begitulah gambaran setiap kali Ayah pulang.
Dengan mata masih setengah nyawa, aku keluar dari kamar, setelah seharian tertidur pulas, kecapekan nyetir dari rumah kami di luar kota sampai ke rumah Ibu tanpa ada yang menggantikan. Aku biarkan istri dan anakku melanjutkan tidur siangnya. Di sela-sela lemari hias, dari balik tirai kelambu, aku lihat Ibu sedang duduk di lantai keramik, memilah-milah baju Ayah yang baru saja ia angkat dari tali jemuran. Disampingnya berbaring manja adik cantikku satu-satunya.
"Gak terasa, sudah 18 tahun usiamu, Adikku..." gumamku dalam hati.
"Ibu..." dia Ratih namanya, "Ibu kenapa sih gak pernah protes ngeliat Ayah jarang pulang gitu?"
"Ayah kamu lagi kerja Sayang..." sahut Ibu tenang.
"Bohong..! Ratih ni udah besar Bu... uda tau sama hal-hal kayak gituan.."
"Hal-hal kayak gituan gimana maksud kamu?"
"Banyak temen Ratih yang ngeliat Ayah sering jalan sama gadis-gadis cantik seumuran Ratih Bu..."
"Huss..! Jangan asal bicara ya kamu, kalo Ayah denger bisa marah lho.."
"halaaaah... udalah Bu.. Ibu gak usah nutup-nutupin lagi.. Ratih udah tau semuanya." sanggah Ratih sambil mencibir.
Ku lihat Ibu lalu meletakkan baju yang tengah dipegangnya di atas alas setrikaan dan kemudian menggenggam kedua tangan Ratih erat. Dengan senyum penuh kasih dipandangnya sepasang mata itu dalam-dalam,
"Anakku... ingatlah selalu apa yang hendak Ibu katakan ini. Dan ingat itu ketika kelak kamu sudah berumah-tangga dan suami kamu sudah setua Ayah. Laki-laki seusia Ayah itu, tengah mengalami masa remajanya yang kedua. Dia mulai sedikit kekurangan kepercayaan akan dirinya.
Karena itu dia merasa membutuhkan gadis-gadis cantik dan muda di sekelilingnya yang akan selalu memberinya kata-kata pujian dan sanjungan. Yang dianggapnya itu sebagai bukti bahwa dia masih menarik, bahwa dia masih belum tua, bahwa para wanita masih mengejar-ngejar dia."
Ibu mengguncang-guncang tangan Ratih pelan dan mengusap anak rambut yang menempel di dahinya.
"Masa itu tidak akan berlangsung lama, Sayang... Bila sudah berlalu, Ayah akan kembali lagi pada kita, pada Ibu... Dan selama menanti, tidaklah berguna bagi Ibu untuk bermuka asam atau menyambutnya dengan palang pintu, sebab itu hanya akan membuatnya lari dari rumah yang dianggapnya sudah jadi seperti neraka.
Lebih baik kalo dia dimanjakan dan diberi kesan bahwa dia dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Ingat Ratih... tidak ada seorangpun yang tidak tergerak hatinya ketika mendapat perhatian lebih dari orang lain. Percayalah itu. Camkan baik-baik apa yang Ibu bilang.
Bila suamimu kelak sudah berumur mendekati lima puluh tahun, dan bila dia mulai tertarik lagi pada gadis-gadis cantik, janganlah kamu musuhi dia. Tapi tetaplah berhias yang cantik, sediakan minuman dan makanan yang masih hangat dan bereskan selalu tempat tidurnya. Siapkan baju-baju yang akan dipakainya seperti biasa.
Tutup mata kamu dan tersenyumlah. Tunggu sampai masa itu usai dan setelah semua berlalu, kamu akan merasakan sebuah kenikmatan hidup yang luar biasa. Yaitu ketika suami kamu akhirnya benar-benar kembali. Karena sesungguhnya, Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih pada hamba-Nya yang senantiasa sabar dan tawakal."
"Ibu...." spontan Ratih langsung bangun dan memeluk Ibu erat sambil menangis.
Begitu mulianya hatimu Ibu..
Dengan begitu bijaknya, Ibu menjawab pertanyaan Ratih, membela Ayah yang sudah jelas-jelas bersalah, mengkhianati kepercayaan yang Ibu berikan. Jujur aku kagum pada kemuliaan hatimu Bu... dan semua apa yang Ibu katakan itu benar-benar membuatku tergugah. Aku janji, aku akan berusaha untuk sebisa mungkin mengindari hal itu.
Tuhan... betulkah semua apa yang Ibu katakan itu..? Akankah aku nanti juga seperti itu? Jangan ya Tuhan... jangan Engkau buat hamba menjauh dari istri dan anak-anak hamba. Hamba sayang banget dengan mereka.
Posting Komentar