BAB IX ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN KEMISKINAN
Kelompok 2
1KA24
1. 4 Hal Sikap Yang Ilmiah
Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu, melainkan mendukung dalam mencapai tujuan ilmu itu sendiri, sehingga benar-benar objektif, terlepas dari prasangka pribadi yang bersifat subjektif. Sikap yang bersifat ilmiah itu meliputi empat hal:
a) Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif.
b) Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
c) Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
d) Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah selanjutnya. Ilmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generic meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah. Pengembangan diartikan sebagia penggunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau engineeringnya (Bachtiar Rifai, 1975).
Dalam menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut, perlu diperhatikan hambatan sosialnya. Bagaimana konteksnya dengan teknologi, dan kemungkinan untuk mewujudkan suatu perpaduan dan pertimbangan moral dan ilmiah. Sebab manusia tidak selalu sadar akan hal ini, dan manusia yang paling sederhana pun hanya menerima informasi mengenai kemungkinan yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Contoh sederhana tapi mendalam terjadi pada masyarakat mitis. Dalam masyarakat tersebut ada kesatuan dari pengetahuan (mitis) dan perbuatan (sosial), demikian pula hubungan sosial di dalam suku dan kewajiban setiap individu sudah terang. Argumen ontologis, kalau meminjam teori Plato, artinya berteori tentang wujud atau hakikat yang ada. Keadaanya sekarang sudah berkembang sehingga manusia sudah mampu membedakan antara ilmu pengetahuan dengan etika dalam suatu sikap yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Alasan lain untuk mengintegrasikan kedua bidang tersebut ialah karena dalam perkembangan ilmu-ilmu modern, pengetahuan manusia telah mencapai lingkupnya yang paling luas, dimulai dengan pikiran ontologis, kemudian mengambil jarak terhadap alam sekitarnya. Alam dipelajari, direnggut, dan digauli, rahasia-rahasianya dimanfaatkan bagi manusia. Timbul kesan seolah-olah pengetahuan ilmiah merupakan suatu tujuan sendiri (ilmu demi ilmu). Bahkan ada ilmu pengetahuan murni, jadi lepas dari apa yang ada di luar ruang lingkup ilmu, lepas dari masyarakat dan hidup sehari-hari. Di sini manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kebaikan dan kejahatan, kesadaran politik, nilai-nilai religius, dan sebagainya. Oleh pandangan ini, kaidah etis beserta nilai-nilainya dicap sebagai soal-soal ekstra ilmiah (di luar bidang ilmu).
Sekarang tidak dapat netral dan bersikap netral lagi terhadap penyelidikan ilmiah. Karena manusia hidup dalam satu dunia, hasil ilmu pengetahuan dapat membawa kepada malapetaka yang belum pernah kita bayangkan sehingga perlu etika ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya jalan keluar. Lebih lanjut diakui oleh filsafat modern, bahwa manusia dalam pekerjaan ilmiahnya tidak hanya bekerja dengan akal budinya, melainkan dengan seluruh eksistensinya, dengan seluruh keadaannya, dengan hatinya, dengan pancainderanya sehingga manusia, dalam mengambil keputusannya, membuat pilihannya terlebih dahulu, mendapat pertimbangan dengan ajaran agama, dan nilai-nilai atau norma kesusilaan. Konteks ilmu dengan ajaran agama dalam rangka meningkatkan ilmuwan itu sendiri sejajar dengan orang-orang yang beriman pada derajat yang tinggi, sebagai pemegang amanat, dan akan tetap memperoleh pahala.
Ilmu pengetahuan sekarang menghadapi kenyataan kemiskinan, yang pada hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari kaitannya dengan ilmu ekonomi karena kemiskinan merupakan persoalan ekonomi yang paling elementer, di mana kekurangan dadpat menjurus kepada kematian. Tetapi di lain pihak ekonomi sekarang berada pada puncak kegemilangan intelektual, banyak menggunakan penilaian matematis dan usaha pembuatan model matematis yang merupakan usaha yang amat makmur (American Ekonomic Association). Dalam hal ini tentu ekonomi perlu menyajikan analisis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dengan bermacam-macam kadar asumsinya, sebab, apabila bertentangan dengan nilai-nilai atau etika yang hidup dalam masyarakat dan model-model yang dibangunnya tidak relevan, akan memberi kesan sebagai suatu ilmu yang mengajarkan keserakahan.
Maka sebagai gantinya dapat disodorkan apa yang disebut ekonomika etik (Prof. Dr. Ace Partadiredja, "Ekonomik Etik", pada pengukuran Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogya, 1981).
Harwantiyoko dan Neltje F. Katuk. MKDU ILMU SOSIAL DASAR. Pondok Cina, Depok, 27 Oktober 1996
STUDY KASUS
Ahad 17 Oktober kemarin diperingati sebagai Hari Anti Kemiskinan. Sebagai salah satu fenomena sosial yang dihadapi oleh semua negara, kemiskinan merupakan bagian dari agenda pembangunan yang tak henti-hentinya menjadi wacana dan diskursus yang ramai didiskusikan oleh berbagai kalangan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sampai Maret 2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa atau sekitar 13,3 persen dari jumlah penduduk. Angka ini mengalami penurunan 1,51 juta jiwa dibanding tahun Maret 2009 yang mencapai 32,53 juta orang.
Selain itu,jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan 0,81 juta jiwa atau 11,10 juta orang sampai Maret (2010) dari 11,91 juta di Maret 2009. Demikian halnya di daerah perdesaan telah mengalami penurunan 0,69 juta jiwa, atau dari 20,62 juta (Maret 2009) menjadi hanya 19,93 juta jiwa tahun ini.
http://metronews.fajar.co.id/read/107637/19/kemiskinan-dan-mitos-pembangunan
OPINI
Ilmu pengetahuan sekarang menghadapi kenyataan kemiskinan, yang pada hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari kaitannya dengan ilmu ekonomi karena kemiskinan merupakan persoalan ekonomi yang paling elementer, di mana kekurangan dapat menjurus kepada kematian. Namun, angka kemiskinan mulai menurun dengan seiringnya ekonomi sekarang berada pada puncak ke gemilangan ilmu intelektual.
Posting Komentar