Lihatlah, Bagaimana Orang Yahudi Mendidik Anak Mereka
“We would like our students to be able to communicate in Hebrew, more importantly, we should try to allow them a life-long access to the stories and ideas of the Bible and the Rabbinic texts to the prayers.”
Kata-kata di atas berasal dari tulisan Rahel Halabe yang berjudul “Is Hebrew a ‘Second Language’ for our Children?”. Rahel Halabe adalah seorang praktisi pendidikan Bahasa Ibrani yang terkenal di kalangan Yahudi dan menulis sebuah pengantar bahasa Ibrani yang berjudul “The Introduction to Biblical Hebrew the Practical Way“. Uniknya, mayor pendidikan Halabe justru Sastra dan Bahasa Arab di Hebrew University, Israel.
Dalam tulisannya, Halabe menjelaskan betapa pentingnya penguasaan bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi. Halabe berujar adalah tindakan fatal bagi bangsa Yahudi jika memperlakukan bahasa Ibrani sebagai bahasa kedua.
Alasan Halabe sangat beralasan, sebab bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi, tidak saja semata-mata menjadi tuntutan teologis tapi bahasa Ibrani adalah representasi kultur atau budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas seorang Yahudi. Maka itu, menurutnya, cara awal agar seorang anak Yahudi dekat dengan bahasa Ibrani amat tergantung dari orangtuanya.
Orangtua Yahudi, kata Halabe, sudah harus memperkenalkan bahasa Ibrani-dan bukan bahasa lainnya- tepat ketika bayinya lahir. Orangtua dituntut untuk memperkenalkan bahasa Ibrani dengan cara seperti menyanyikan bahasa Ibrani dan membiasakan berbicara kepadanya saat awal-awal seorang anak Yahudi hadir dalam kehidupan nyata.
Halabe juga mendelegasikan tulisan Ibrani modern kepada seorang anak. Hal ini tidak saja untuk memudahkan jalan mereka menguasai percakapan bahasa Ibrani dan literatur modern Ibrani, tetapi juga akan mendukung studi mereka tentang teks-teks teologi klasik Yahudi seperti Siddur dan Mishnah.
“Introducing young students to modern Hebrew literature will not only ease their way into Hebrew conversation and modern Hebrew literature, but will support their study of the classical texts: Bible, Siddur, Mishnah and more. In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions.”
Akhirnya ketika semua proses itu telah usai, pada gilirannya, Yahudi pun akan memetik hasilnya. Hasil itu adalah berupa generasi dewasa Yahudi yang terpelajar sekaligus menghargai warisan dan budaya mereka. Ya, bukan budaya yang lainnya.
“In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions. A rich program offering both past and present will help produce educated adult Jews who are well-read and appreciative of their heritage and culture.”
Hal ini seakan berbalik dengan dunia Islam. Kita memang banyak melahirkan sarjana-sarjana pintar, cerdas, dan trengginas tapi sayangnya mereka tidak bangga pada agamanya, pengetahuan agama mereka pun minim. Mereka pun tidak memiliki keterikatan terhadap warisan luhur agamanya.
Walhasil, banyak kita saksikan seorang Profesor ber-KTP Islam, tapi baru mempelajari Islam, justru ketika dirinya pensiun. Ia memang pakar sosiologi, ekonomi, dan politik tapi tidak memliki akses terhadap wacana klasik Islam, ini terjadi karena mereka tidak menguasai bahasa Arab sebagai bahasa resmi agamnya. Dampak ini cukup fatal, karena umat Islam kehilangan akses terhadap sejarah agamanya dan agama (Islam) itu sendiri.
Padahal Muhammad Assad (Leopold Weiss/1900-1922), mantan Yahudi yang masuk Islam dan menulis “Islam at the Crossroad” pernah mengatakan bahwa ketika suatu bangsa tidak memiliki akses kepada sebuah peradaban yang membesarkannya, maka peradaban itu akan terputus. Peradaban itu akan mati dan tinggal sejarah. Dampaknya, generasi mendatang dari bangsa tersebut akan terputus kepada akar sejarahnya dan tidak akan memiliki lagi perasaan bangga kepada warisan peradabannya.
Maka itu, Muhammad Quthb dalam bukunya “Kaifa Naktubu Attarikhal Islami” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, “Mengapa Kita Perlu Menulis Ulang Sejarah Islam”. menyatakan sejarah adalah bagian penting bagi Umat Islam untuk mengetahui akar peradabannya.
Kini setelah mereka bersatu dalam Israel, Yahudi bisa dikatakan bangsa yang sangat memperhatikan warisan bahasanya. Di Israel kini Bahasa Ibrani menjadi kurikulum wajib di tiap sekolah. Mata pelajaran bahasa Ibrani menjadi mata pelajaran utama di tiap jenjang pendidikan. Jalan-jalan di Israel pun mayoritas ditulis dalam bahasa Ibrani. Zionis Israel memberikan nama-nama dengan bahasa Ibrani untuk beberapa desa, kota dan wilayah setelah mereka berhasil 'menjajah' wilayah Palestina pasca perang tahun 1948.
Bahkan baru-baru ini, dalam upaya menampilkan karakter Yahudi di negara Zionis Israel tersebut, pemerintahan sayap kanan Israel akan menghapus semua papan-papan tanda publik yang berbahasa Arab dan Inggris dari seluruh Israel. Yisrael Katz, Menteri Transportasi Israel, sekaligus anggota Knesset mengatakan tindakan tersebut dilakukan sebagai jawaban terhadap penolakan warga Palestina untuk menggunakan nama-nama Ibrani untuk beberapa kota yang ada di Israel. Israel Lihatlah bagaimana militansi mereka terhadap Ibrani.
Tentu kita masih ingat pada seorang orientalis Yahudi bernama Abraham Geiger yang pernah menulis buku kontroversial yang berjudul, Was hat Mohammed aus dem Judenthue aufgenommen? (Apa yang diambil Muhammad dari Yahudi). Buku ini mengantarkan penulisnya lolos seleksi ke Universitas Bonn dan kelak menjadi Doktor teologi terhebat abad 19. Dan anda mau tahu berapa umur Geiger saat menulis buku yang menjelaskan banyak hal yang “dicuri” Islam dari Yahudi itu? 23 tahun.
Sekalipun menjadi liberal, berkat penguasaannya pada bahasa Ibrani, Geiger kecil sudah akrab dengan literatur Ibrani teks-teks teologi Yahudi. Penguasaan bahasa itu pula yang membuatnya di umur 17 tahun pun konsisten mengkaji bahasa dan sastra Arab. Selama berjam-jam, Geiger tekun mengkaji Al Qur’an di dalam Universitas tua di Universitas Bonn.
Inilah yang harus menjadi instropkesi bagi dunia Islam. Sudahkah kita mendahulukan bahasa “ibu” kita sebagai umat Islam, yakni bahasa Arab ketimbang bahasa lain? Berapakah uang yang kita gelontorkan untuk memperdalam bahasa Al Qur’an itu ketimbang bahasa Inggris? Kenapa kita hanya melantunkan adzan kepada anak saat baru lahir namun terputus untuk mengajarkannya bahasa Arab sebagai hak seorang anak hingga dewasa. Maka itu jangan salahkan anak kita jika mereka tidak bangga kepada Islam.
Atau betul memang kata Umar bin Khaththab, bahwa sebelum anak durhaka kepada orangtuanya, orangtuanya dahulu yang telah durhaka kepada anaknya. "Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu,” kata Umar kepada orangtua yang mengadukan kedurhakaan anaknya, dan usut punya usut, sang orangtua dululah yang memulai. Allahua'lam.
Posting Komentar