Snippet

Islam, Pandangan Hidup, dan Ideologi

Islam yang dimaksudkan tulisan ini adalah pandangan hidup yang berpandukan kepada ajaran agama yang fitrah, yaitu agama islam, bersumberkan pada wahyu Ilahi, Al Quranul karim dan Sunnah rasulullah saw. Sedangkan ideologi menurut Rosenthal dalam Dictionary of Philosophy adalah sebuah sistem dari pemikiran atau idea, baik itu berkenaan dengan politik, hukum, moral, seni, agama, dan filsafat. Sebenarnya Islam tidak dapat dibandingkan dengan segala ideologi sebab Islam adalah agama bersumber dari wahyu sedangkan Ideologi bersumber dari pemikiran manusia. Umat islam sepatutnya menjadikan islam sebagai sistem hidup baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, sosial, etika, seni dan lain sebagainya. Tetapi dalam kondisi dunia hari ini, kita dapat melihat bahwa islam sebagai satu sistem kehidupan berhadapan dengan ideologi – ideologi seperti Kapitalisme, Sosialisme-Komunisme, dan Sekularisme yang telah menjadi sistem hidup bagi masyarakat Barat. Dalam perkembangan masyarakat, terlebih lagi dengan globalisasi dunia sekarang ini, maka akan umat islam dapat saja terpengaruh dengan sistem hidup yang berdasarkan ideologi barat tersebut, apalagi jika mereka hanya memahami islam sebagai agama ibadah bukan sebagai suatu sistem dalam kehidupan.

Dalam tulisan di bawah ini membicarakan beberapa ideologi yang berkaitan erat dengan sikap hidup umat Islam dewasa ini baik dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pada garis besarnya ada beberapa ideologi yang berkembang saat ini seperti ideologi Kapitalisme, Socialisme, Komunisme, Sekularisme, Post-Modernisme, Perennialisme, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan ini kita tidak membahas ideologi ini secara lengkap, tetapi lebih kepada pengaruhnya dalam kehidupan beragama, sebagaimana judul tulisan ini untuk mendudukkan posisi agama islam di antara segala ideologi tersebut.


KAPITALISME
Kapitalisme berasal dari kata-kata Kapital yang bermakna modal. Kapitalisme adalah ajaran yang menumpukan perhatian hanya kepada pemilik modal. Pemilikan modal adalah pemilikan pada materi. Itulah sebabnya maka Ideologi kapitalisme berlandaskan pada filsafat materialisme. Materialisme adalah berasal dari kata-kata materi. Materialisme jadi merupakan cara berpikir dan pemahaman bahwa segala sesuatu berasal dari materi. Materi adalah sesuatu yang nampak, berarti kebenaran sesuatu hanya dapat diukur dari kewujudan materi. Filsafat materialisme berpendapat bahwa yang primer adalah materi ( matter ) sedangkan pikiran ( mind ) adalah sekunder. Akibat dari pemahaman ini maka Filsafat materialisme berpendapat bahwa Dunia ini adalah sesuatu yang eternal ( kekal ) dan terjadi dengan sendirinya tanpa dibuat oleh Tuhan. Dalam pemahaman filsafat ini sesuatu itu dikatakan ada jika sesuatu itu dapat dibuktikan secara materi. Oleh sebab itu karena Tuhan tidak dapat dibuktikan secara materi, maka Tuhan itu tidak ada. Secara umum, berarti ideologi materialisme ini merupakan ideologi yang menolak secara yang bersifat ghaib, seperti Tuhan, Hari Akhirat, dan lain sebagainya. Segala sesuatu hanya diukur dengan materi, sehingga dalam filsafat materialisme tujuan hidup hanyalah untuk mencari kepuasan materi ( kebendaan ) tanpa menghiraukan kehidupan ukhrawi.

Ideologi kapitalisme memberi penekanan kepada individu secara mutlak. Bagi mereka kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat, oleh sebab itu individu mempunyai kebebasan mutlak baik dalam ekonomi, sosio-politik, dan pemikiran. Dalam ekonomi, individu mempunyai kekuasaan mutlak , boleh memupuk kekayaan tanpa menghiraukan keadaan masyarakat, kalau perlu segala sesuatu diekspliotasi untuk melipat gandakan kapital dan untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin. Ekonomi kapitalisme ini akan mengakibatkan monopoli individu atas segala kegiatan ekonomi, tanpa menghiraukan para pekerja dan masyarakat. Tujuan utama adalah bagaimana mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sedikit. Akibat dari sistem ekonomi kapitalisme ini akan menimbulkan jarak yang besar anatara yang kaya dan yang miskin, disamping menimbulkan monopoli ekonomi di tangan segelintir masyarakat.

Kebebasan individu dalam politik dinamakan dengan istilah demokrasi, sehingga setiap individu mempunyai kebebasan mutlak tanpa batas walaupun kebebasan itu akan menabrak nilai-nilai agama atau kepentingan orang banyak. Sikap bebas tanpa batas dengan slogan hak asasi manusia dan demokrasitanpa batas ini dapat merusak agama, sehingga setiap individu dapat berbuat apa saja tanpa lagi menghiraukan nilai-nilai dan peraturan agama. Kebebasan individu dalam sosio-politik ini juga dapat membahayakan masyarakat, karena semua orang dapat berbuat apa saja tanpa melihat kepada peraturan dan hukum yang berlaku di masyarakat.

Kebebasan pemikiran berarti semua orang bebas berpendapat dan berpikir tanpa harus tunduk kepada kaidah hukum. Kebebasan berpikir ini dapat membahayakan agama sebab setiap orang dapat bebas berpikir tanpa melihat apakah dia mempunyai otoritas atau ilmu dalam memahami ajaran agama tersebut. Dari kebebasan berpikir inlah sekarang timbul di dalam masyarakat Islam liberal, dimana setiap orang berhak untuk memikirkan cara pengamalan ajaran Islam tanpa melihat kepada nash-nash agama. Kebebasan individu ini juga dapat merebak ke dalam budaya, etika dan seni, sehingga setiap orang merasa bebas berbuat apa saja, bebas memakai pakaian apa saja, kalau perlu bebas telanjang, tanpa menghiraukan etika – moral dan budaya masyarakat.

SOSIALISME
Socialisme adalah sistem hidup yang berdiri pada pendapat bahwa kepentingan sosial dan orang banyak lebih utama daripada kepentingan individu. Ideologi sosialisme ini dalam berawal dari filsafat Dialectical Materialism., yaitu pemahaman bahwasanya suatu itu akan berkembang dengan adanya dialiektika atau pertentangan. Sesuatu yang asal menjadi “ Thesis “, kemudian berkembang dan berubah menjadi sesuatu yang lain menjadi “sinthese “. Pertentangan antara thesis dengan sinthesis ini menjadi sesuatu yang baru lagi yang disebut dengan istilah “anti thesis” . Dari pemahaman ini maka dalam dunia ini tidak ada suatu yang pasti, yang absolut, tetapi segala sesuatu harus dikembangkan dengan cara membuang yang lama dan membuat yang baru yang berbeda dengan yang lama. Dengan demikian, kebenaran itu adalah mengikuti keperluan masyarakat bukan berdasarkan pada nilai-nilai yang murni dan baku. Filsafat Dialektikal Materialisme ini bermula dari ajaran Hegel ( 1770 – 1831 ) yang dikembangkan oleh Karl Marx ( 1818-1883 ) dan Frederick Engels ( 1820- 1895 ).

Karl Mark berpendapat bahwa jika kapitalisme sudah mencapai puncaknya, maka akan muncul kaum pemilik modal yang hidup senang dan kaum buruh yang terus tertindas. Untuk itu maka kaum buruh harus melawan kaum pemilik modal dengan mengadakan perlawanan dan pertentangan terus menerus. Dari penomena sejarah ini maka pemahaman materialisme berkembang menjadi Historical Materialisme yang menuju pada perjuangan kelas, dimana suatu masyarakat itu akan maju jika dikembangkan dengan dibuat pertentangan yang terus menerus di dalam masyarakat. Metode Materialisme Sejarah inilah yang menimbulkan pertentangan antara kaum buruh dengan majikan, antara penguasa dan rakyat, antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Dari pemahaman inilah muncul istilah rvolusi sebagai suatu jalan untuk menuju perbaikan dalam masyarakat, agama, budaya , politik dan lain sebagainya. Pemahaman ini berpengaruh dalam pemahaman agama, sehingga suatu agama itu dikatakan maju apabila agama itu meninggalkan nilai-nilai yang tradisional dan membuat sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan dan keperluan masyarakat.

Dalam pandangan kaum sosialis, ajaran agama itu adalah ajaran yang akan menghalangi kaum buruh dari kemajuan, sebab disan terdapat ajaran sabar, tawakkal dan lain sebagainya. Ajaran agama juga dapat menjadi pelindung bagi kaum pemodal dengan bersedekah, melalui harta kekayaan yang di dapat. Oleh sebab itu agama itu harus diperangi sehingga menurut Karl Marx : “ agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati nurani dari dunia yang tidak berhati, maka dia adalah candu bagi rakyat“. Ungkapan ini dilanjutkan oleh Lenin : ‘ Agama adalah candu rakyat. Perkataan Karl Marx ini merupakan pandangan dunia Marxisme terhadap agama. Oleh sebab itu Marxisme menganggap agama dan gereja, serta semua organisasi agama, apapun juga, selalu merupakan alat reaksioner kaum pemodal untuk melindungi penindasan dan penghisapannya terhadap kaum buruh. Kita harus memerangi agama..maka lenyaplah agama dan hiduplah atheisme, maka penyebaran atheisme adalah tugas utama kita “

Dari kajian diatas dapat dilihat bahwa ideologi Sosialisme akan berakibat kepada sikap anti agama dan anti Tuhan ( atheis ) yang juga mencari tujuan utama daripada ajaran komunisme. Antara sosialisme dan kommunisme tak dapat dipisahkan, sebab Komunisme adalah pemahaman yang berdasarkan bahwa pemilikan ekonomi dan harta itu tidak bersivat individu dan pribadi tetapi bersifat “common“ ( orang banyak ), sehingga dalam pemahaman komunisme tidak ada harta pribadi, semuanya adalah harta negara.

SEKULARISME
Menurut istilah, kata sekular berasal dari bahasa latin saeculum yang memiliki arti waktu dan lokasi. Waktu menunjukkan pada pengertian sekarang sedangkan lokasi menunjuk kepada dunia. Jadi saeculum berarti zaman ini atau masa kini dan zaman ini tersebut menunjuk kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia atau peristiwa yang terjadi pada masa kini. Oleh sebab itu sekularisasi didefinisikan oleh Syed Naquib al Attas sebagai “ pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya “. Itu berarti “ terlepasnya dunia dari pengertian religius dan religius semu, terusirnya semua pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci “. Dengan kata lain sekularisasi adalah pemisahan dunia daripada kehidupan agama.

Alam pemikiran barat bermula dari filsafat rasionalisme yang dikembangkan oleh Rene Descartes ( 1596-1650 ) yang menyatakan bahwa kebenaran itu hanya sesuatu yang dapat dipikirkan dan dibuktikan oleh akal. Filsafat ini kemudian hari dilanjutkan oleh Francis Bacon ( 1561 – 1626 ) dengan filsafat empirisme yang menyatakan bahwa sesuatu itu benar jika sesuatu itu telah dapat dibuktikan secara empiris. Filsafat rasionalisme dan empirisme ini memacu kemajuan ilmu dan teknologi dengan begitu pesat dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat Positivisme oleh August Comte ( 1778- 1857 ) yang menganggap bahwa setiap kebenaran harus dapat dibuktikan secara exprimental.

Akibat dari perkembangan filsafat rasionalisme, empirisme, dan positivisme ini, maka kedudukan agama mulai tergugat karena banyak doktrin agama yang tidak dapat dibuktikan secara rasional, empiris, dan teruji secara exprimental. Itulah sebabnya August Comte pada pertengahan abad ke-19 telah membayangkan adanya kebangunan ilmu pengetahuan dan keruntuhan agama, sehingga baginya masyarakat telah berevolusi dan berkembang dari tingkat primitif kepada tingkat modern. Dalam pemikiran August Comte, masyarakat berkembang dari agama pemahaman kepada agama, kemudian naik kepada pemahaman metafisik dan diakhiri dengan tingkat terakhir yaitu pemahaman ilmu dan teknologi. Dengan demikian, jika masyarakat sudah sampai peda tingkat ilmu dan teknologi, maka agama tidak diperlukan lagi, apalagi konsep keagamaan seperti Tuhan dan akhirat adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan eksprimental, maka kepercayan kepada tuhan menurut Comte adalah suatu sikap kolot.

Pemikiran Comte ini berkembang melalui muridnya Ludewig Feurbach ( 1804-1872 ) yang juga merupakan guru kepada Hegel ( 1770 – 1831 ) yang kemudian dikembangkan dan dianjutkan oleh Karl Marx ( 1818-1883 ). Pemikiran agama ini terus berkembang di dunia eropah sehingga Fiedrich Nietzche berani menyatakan bahwa Tuhan telah mati. Dalam psikologi analisa, Sigmund Frued ( 1856 – 1939 ) menyatakan bahwa manusia dalam era psikologi berangkat dari alam takhayul ( supersition ) kepada alam agama ( religion ) dan kemudian kepada alam ilmu pengetahuan ( science ). Dengan demikian menurutnya dalam era ilmu pengetahuan sekarang ini, semua agama telah ketinggalan zaman. Sehingga seorang penulis barat Somerset Mugham menyatakan bahwa : ..suatu Tuhan baru telah ditemukan di Eropah dewasa ini yaitu ilmu pengetahuan sedangkan Tuhan yang lama telah mereka campakkan “.

Itulah sebabnya kaum intelektual barat pada masa itu berkata kepada gereja : “ Ambillah kembali Tuhanmu itu yang dengan atas namanya kalian telah memperbudak kami, serta membebani kami dengan kewajiban-kewajiban berat, dan menundukkan kami di bawah kediktatoran serta takhayul yang tirani. Keimanan pada Tuhanmu itu menuntut kami untuk menempuh kehidupan dngan ketergantungan kepada pendeta , maka kami tolak ajaranmu itu, karena kami akan punya Tuhan baru yang memiliki segala sifat Tuhan yang pertama, tetapi tanpa gereja yang memperbudak kami, dan juga ia tidak akan memberatkan kami dengan kewajiban moral, intelektual atau kebendaan apapun, seperti yang diperbuat oleh Tuhanmu “. Hal ini muncul sebab sejarah telah menceritakan bahwa gereja pada mulanya adalah sangat membenci pada ilmu pengetahuan. Dengan dalih agama, ilmu pengetahuan dikekang sebagaimana yang terjadi pada Socrates dan Bruno, sehingga pada masa Reinessance maka pemikir ilmu pengetahuan tidak segan-segan untuk membuang agama sebagai tindakan bals dendam kepada kekejaman gereja terhadap ilmu pengetahuan.

Sekularisasi dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan seperti dalam bidang sosio-politik, dalam bidang ilmu pengetahuan dan dalam bidang keagamaan. Dalam bidang sosio-politik, menurut pandangan kaum sekular, negara modern adalah negara yang memisahkan antara agama dan negara. Agama modern adalah agama yang lahir dengan sendirnyadan terpisah dari agama dan gereja. Negara bukanlah bagian daripada gereja, dan juga bukan merupakan bagian daripada masyarakat keagamaan. Dengan demikian sekularisasi politik adalah proses sosial dimana bentuk struktur politik tradisional mengalami perbedaan radikal, yang menghasilkan pemisahan bidang ketatanegaraan dari struktur keagamaan, penggantian legitimasi politik berdasarkan pada norma-norma sekular, dan usaha untuk meluaskan kekuasan politik di bidang yang semula diatur oleh kaidah agama. Sekularisasi politik inilah yang dikenal dengan nama desakralisasi politik yaitu penghapusan legitimasi sakrak kekuasaan politk, yang merupakan syarat perubahan politik. Agama dipandang sesuatu yang sakral sedangkan politik adalah sesuatu yang kotor, maka kedua hal itu harus dipisahkan dan dijauhkan.

Sekularisasi dalam ilmu pengetahuan, maksudnya adalah menjauhkan ilmu pengetahuan daripada nilai-nilai agama, sehingga akhirnya kalau perlu ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Agama hars dipisahkan daripada ilmu pengetahuan, sehingga tujuan ilmu hanyalah dunia, bukan untuk melaksnakan ajaran agama. Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dibangun dengan riset dan eksprimental, sedangkan agama adalah sesuatu keyakinan yang hanya dapat dipercayai tanpa dapat dibuktikan secara roset dan eksprimental. Itulah sebabnya segala sesuatu yang berhubungan dengan agama adalah sesuatu yan tidak ilmiah, dan itulah sebabnya maka agama tidak perlu diajarkan dalam bangku sekolah. Jika agama diajarkan itupun hanya setakat untuk keprluan hubungan pribadi dengan tuhan. Bagi mereka kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang mutlak karena dapat dibuktikan dengan pemikiran yang logik dan rasional sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran yang nisbi. Sekularisasi ilmu pengetahun ini muncullah teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera karena dibuktikan oleh perkembangan kerangka manusia yang sama dengan kerangka monyet. Sigmund Frued juga menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah sikap yang dibentuk oleh desakan seksual ( libido sex ) sehingga tidak ada kehidupan yang fitrah bagi manusia.


Dalam ilmu antropologi kita melihat bahwa manusia ini pada mulanya adalah masyarakat yang tidak bertuhan, kemudian baru meningkat kepada masyarakat berthan dengan tuhan yang banyak, kemudian dilanjutkan kepada masyarakat bertuhan satu dengan agama monotisme, dan akhirnya dilanjutkan dengan masyarakat berilmu pengetahuan yang tidak bertuhan. Padahal dalam agama islam kita dapati bahwmanusia pada mulanya telah bertuhan dengan tuhan monotosme yang satu sebagaimana Allah wahyukan kepada Adam sebagai manusia pertama di dunia.

Sekularisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu masuk ke dlam masyarakat dari sejak staman kanak-kanak sampai pasca sarjana, sehingga semua ilmu yang dipelajari dapat membuat mereka jauh daripada nilai-nilai agama. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan yang membahas manusia sebagai individu ( psikologi ), ilmu pengetahuan yang mengkaji manusia sebagai bagian dari kelompok ( sosiologi dan sejarah ), ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang organisasi dan kelembagaan ( manajemen ), ilmu yang mengontrol aktivitas ekonomi ( ilmu ekonomi ) , ilmu pengetahuan yang mengatur cara hidup bernegara ( ilmu hukum ), ilmu pengeahuan tentang keindahan ( seni budaya ) semuanya telah mengalami proses sekularisasi dan perlu untuk dikaji ulang dengan menyatukan nilai-nilai agama melalui proses islamisasi.


Sekularisasi ilmu pengathuan berdampak pada sekularisasi teknologi sehingga pemakaian teknologi tidak lagi dilandaskan pada nilai-nilai agama tetapi lebih banyak dilandaskan pada nilai-nilai sekular, yang hanya dipakai untuk mewujudkan cita-cita kapitalisme, sosialisme, yang tidak menghiraukan nilai-nilai agama dan etika. Sekularisasi teknologi akan membuat teknologi itu terlepas daripada nilai-nilai agama dan etika, sehingga lebih banyak kepada pemuasan hawanafsu dan materi.

Sekularisasi pemahaman keagamaan mengakibatkan pada pemahaman bahwa agama adalah hak individu dan hanya mengatur hubungan individu kepada tuhan, seperti berdoa dan sembahyang. Sedangkan kegiatan yang lain seperti kegiatan ekonomi, kegiatan sosial, seni dan budaya tidak ada hubungannya dengan agama. Begitu juga dengan sikap dan tingkah laku, tidak lagi harus mengikuti nilai-nilai agama. Bagi mereka kegiatan ekonomi seperti bekerja bukanlah bagian daripada ibadah, tetapi hanya untuk tujuan dunia. Cara bekerja dan sistem ekonomi juga harus dipisahkan daripada ajaran agama. Demikian juga dengan kegiatan seni dan budaya. Seni hanya untuk seni, sehingga segala sesuatu atas nilai seni tanpa ada hubungan dengan nilai-nilai agama. Berpakaian juga tidak punya hubungan dengan ajaran agama, sehingga setiap orang bebas untuk memkai apa saja, kalau perlu tanpa busana. Hubungan sesama manusia juga bukan lagi berlandaskan pada nilai-nilai agama, tetapi nilai kepentingan. Itulah sebabnya dalam masyarakat sekular timbul pergaulan bebas, freesex, dan lain sebagainya, dengan alsan bahwa masalah pergaulan bukanlah masalah agama. Sekularisasi kehidupan inilah yang menimbulkan budaya hedonisme, budaya permissive, budaya liberal, yang telah melanda masyarakat modern hari ini.
 
Akibat dari pemisahan agama dari kegiatan sehari-hari ini menjadikan manusia hidup dalam kehidupan yang gersang, sehingga akhir-akhir ini timbul kesadaran manusia untuk mencari agama yang memadukan agama menjadi satu. Inilah yang dikenal dengan Filsafat perennialisme yang menyatakan bahwa pada dataran batin sebenarnya semua agama ini adalah satu. Dari filsafat inilah muncul pemikiran bahwa agama adalah benar semua, dan tidak ada agama yang paling benar. Ini diakibatkan oleh pemikiran filsafat post-modernisme, dimana dalam filsafat ini tidak ada kebenaran yang absolut, semua kebenaran adalah relatif walaupun kebenaran agama . Semua orang boleh perpendapat dan semua orang boleh dianggap benar, sehingga dalam masyarakat tidak ada lagi nilai-nilai yang dijadikan ukuran kebenaran.

Inilah gambaran bagi perkembangan ideologi dan filsafat hari ini yang banyak berpengaruh dalam pemahaman keagamaan terutama dalam pengamalan ajaran agama Islam. Untuk itu setiap muslim diperlukan usaha serius untuk memahami ajaran agamanya sehinga tidak terbawa oleh arus pemikiran dan ideologi yang berkembang dengan begitu cepat apalagi dalam era globalisasi dewasa ini. “ Al haqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin…”.

Bahan bacaan :
1. Syed Muhammad Naquib Al attas, Islam dan Sekularisasi.
2. Imam Munawir, Posisi Islam di tengah pertarungan ideologi dan keyakinan.
3. Muhammad Baqir Sadr , Falsafatuna.
4. Fritchjof Schoun, Islam and the Perennial Philosophy.
5. M. Rosenthal dan P. Yudin, A Dictionary of Philosophy.